Seperti dilansir oleh media online Detik.com, Minggu, 09/09/2012, Kong Ridwan mengingatkan bahwa pemimpin DKI Jakarta dari masa ke masa datang dari berbagai suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Ridwan juga memaparkan bahwa kepemimpinan Jakarta, pada masa-masa awal dibangun, adalah kepemimpinan yang tenang. (Detik.com, Minggu, 09/09/2012).
Hai itu dikatakan oleh Ridwan Saidi dalam acara diskusi terbuka dan persiapan apel siaga pembekalan 3000 relawan Pos Perjuangan Rakyat (Pospera), di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, Minggu (09/09/2012). Pospera sendiri merupakan pendukung Jokowi-Ahok.
Apa yang diungkapkan oleh budayawan Betawi itu bak “memukul” balik isu-isu SARA dari kalangan tertentu yang menohok kubu Jokowi-Ahok. Jokowi yang bukan penduduk asli Jakarta dan Ahok dengan latar belakangnya sebagai seorang Kristen dan beretnis Tionghoa.
Karenanya Ridwan mencontohkannya dengan Syamsurijal dan Henk Ngatung. Syamsurijal sendiri, menurut Kong Ridwan, pernah memimpin Jakarta hingga tahun 1953, membuka kawasan Cempaka Putih, dan pernah menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan. Identik dengan Jokowi, yang nota bene bukan asli penduduk Jakarta dan seorang Walikota Solo.
Adapun perihal Henk Ngatung, Kong Ridwan mengingatkan bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta yang satu ini adalah Gubernur yang paling “keren” dan beragama Kristen. Identitas seorang Henk Ngatung yang non Muslim identik dengan Ahok, yang dipermasalahkan karena faktor agamanya yang bukan Islam.
Belum lagi pernyataan Kong Ridwan tentang tak bisanya Jakarta dipimpin oleh orang-orang yang keras, melainkan oleh seorang yang kalem. Ridwan Saidi lantas mencontohkan kriteria kalem dengan Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, yang memimpin Negaranya dengan kalem. Pernyataan ini seakan menuju kepada kubu Foke, yang selama ini memang terkenal terkesan garang, sinis, dan arogan. Berbanding terbalik dengan apa yang ditampilkan oleh seorang Jokowi yang terkesan kalem.
Ucapan budayawan Betawi berambut “gondrong” sebahu itu kian terasa “memukul” balik kubu Foke, setelah apa yang diucapkan oleh Foke pada hari ini, Senin (10/09/2012) saat menghadiri acara lebaran Betawi. Pada sambutannya, Foke mengeluarkan ucapan yang berkesan menyindir terhadap pilihan warga DKI Jakarta.
Portal berita Tribunnews.com, Senin, 10/09/2012, memberitakan perihal ucapan Foke itu. Dari segi agama, ujar Foke, semestinya sudah jelas siapa yang akan menjadi pilihan penduduk Ibukota pada 20 September mendatang. “KTP Islam, ngaku Muslim, tapi…..,” kata Foke, namun terputus oleh celetukan dari hadirin, “Tapi milihnya Ahok.” Foke dikabarkan hanya tersenyum mendengar hal tersebut. (Tribunnews.com, Senin, 10/09/2012).
Bila kita cermati, apa yang diungkapkan oleh Ridwan Saidi memang benar dan sesuai dengan fakta sejarah. Sebab, fakta sejarah menyebutkan mayoritas pemimpin yang pernah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta bukanlah asli penduduk Jakarta. Ali Sadikin, misalnya, Gubernur DKI Jakarta termasyhur dan legendaris, adalah seorang beretnis Sunda dengan kelahiran Sumedang, Jawa Barat. Sementara itu Henk Ngatung adalah seorang pemeluk agama Kristen.
Jadi dengan fakta sejarah yang demikian, seharusnya kita tak mempersoalkan lagi berbagai latar belakang SARA dalam soal siapa yang memimpin Jakarta. Sebagi salah satu kota Metropolitan, Jakarta seharusnya dipimpin oleh seorang yang memiliki program dan menawarkan berbagai solusi tepat guna untuk menuntaskan berbagai persoalan yang “mencekik Jakarta, dan bukan mempersoalkan identitas seorang Gubernur.
Jadi kini kita tinggal menunggu tanggal 20 September untuk mengetahui, apakah “pelajaran” sejarah singkat tentang pemimpin di DKI Jakarta, yang disampaikan oleh Kong Ridwan, akan berpengaruh terhadap pilihan warga Jakarta, sekaligus menepis hembusan angin SARA yang cukup kuat menerpa suasana Pilkada DKI Jakarta periode 2012-2017.
Sumber:
http://politik.kompasiana.com/2012/09/10/kembali-ridwan-saidi-memukul-balik-foke/
Sumber:
http://politik.kompasiana.com/2012/09/10/kembali-ridwan-saidi-memukul-balik-foke/